Banyak manusia tak mengerti misi hidup mereka di dunia. Banyak juga yang tahu, tapi salah mengerti. Namun setiap orang memiliki filosofi hidup masing-masing. Tetapi untuk apakah engkau hidup?
“Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah padaKu” (Adz Dzaariyat 56).
Menurut Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Ibadah adalah segala aktivitas yang ditujukan untuk mencari kerihdaan Allah dan dilaksanakan sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Rosulullah. Dan ibadah yang tertinggi menurut Islam adalah menegakkan syari’at Allah dimuka bumi.
Seperti kata Ustadz Abu, ibadah adalah segala sesuatu yang ditujukan untuk mencari ridha Allah SWT. Dan memang, Allah SWT senantiasa mengawasi kita, menginginkan kita memakna ibadah sebagaimana kita memaknai interaksi kita denganNya. Tetapi jangan dikira Allah yang membutuhkan ibadah hambaNya. Oleh karena itu Allah mengingatkan dalam surat Adz Dzaariyat ayat ke limapuluh tujuh. Pada ayat tersebut merangkai maksud penciptaan jin dan manusia, bahwa Allah terbebas dari segala keterbutuhan dan hajat pada hambaNya, justru hamba itulah yang senantiasa memerlukan dan berhajat padaNya.
“Aku tak menghendaki rizqi sedikitpun dari mereka dan Aku tak menghendaki agar mereka memberiKu makan” (Adz Dzaariyat 57).
Allah tak memerlukan sesajian. Allah tak memerlukan persembahan. Allah bukan ‘dewa’ yang menuntut ubarampe. Sekiranya pun semua mahlukNya mengkufuri, Ia takkan berhenti jadi Tuhan. Ia sama sekali tak memerlukannya. Ibadah adalah kebutuhan kita.
Dibawah aliran kesejukan thaharah, kita hajatkan kesegaran dalam kesucian. Kita jujur pada diri tentang sah dan batal ibadah. Dalam raka’at-raka’at shalat kita ingin mendekat. Saat bertakbir, keagungan Allah menundukkan kesombongan kita. Saat menyebut namaNya, bergetarlah isi dada, berpaling kita dari selainNya menghadap sebuah orientasi pasti. Saat bertahmid, kita puji ia, atas nikmat, atas kesempurnaan ciptaan, atas rizqi yang mencukup, atas kejujuran yang masih kita jaga, atas kesucian hati yang terus kita upayakan. Ia, Maha Pengasih, kasihNya tiada pilih. Ia Maha Penyayang, kasihNya tak terbilang.
Saat kita sebut Ia Penguasa Pembalasan, menitik air mata mengingat dosa, mengenangkan hari-hari yang terisi kesiaan. Bukankah malaikatNya merekam amal kita sejak baligh sampai mati, lalu nanti Ia sajikan tayangannya di sana membuat kita malu hati, sampai-sampai tenggelam dalam keringat sendiri. Oh, padahal sering kita lalai, sering kita gantungkan diri pada makhlukNya yang tiada daya membantu kita. Begitulah, ayat-ayatNya melantun dari bibir membangkitkan kesadaran dalam jiwa. Hanya kepadaNya sembah dan permohonan, Maha Tinggilah Ia, dan kita merasakan betapa dekatnya, betapa mesranya, betapa asyiknya bicara padaNya dalam hening, mengadu, berkeluh, berkesah tentang segalanya, memohon, berdoa dan meminta. Begitulah hingga dalam gerak-gerak itu kita temukan makna ihsan, “..Kau menyembah Allah sekan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tak dapat melihatNya, yakinlah, Ia menatapmu lekat setiap saat..”
Alangkah indahnya ibadah. Tetapi kalau misi hidup manusia adalah ibadah, bagaimana ia melangsungkan kehidupannya? Dihitung-hitung, sehari kita yang duapuluh empat jam itu terisi sedikit sekali aktivitas ibadah. Shalat? Lima kali 10 menit, tak sampai satu jam. Ya Allah.. Bagaimana mungkin kita bisa mentaatiNya untuk mengisi hidup hanya, hanya, dan hanya dengan ibadah? Padahal hari-hari kita adalah aktivitas duniawi, aktivitas memenuhi kebutuhan jasmani, untuk hidup, bermain, belajar dan bekerja.
Bersyukurlah menjadi muslim, bersyukurlah menjadi mukmin. Semua bisa kita pandang sebagai ibadah, selama ia adalah realisasi arahan-arahan Allah terhadap kehidupan.
“Islam adalah sebuah nizham universal yang mencakup seluruh segi kehidupan manusia. Ia tak bisa dipisahkan dari Negara dan tanah air atau pemerintah dan rakyat. Ia adalah akhlaq dan kekuatan, atau rahmat dan keadilan. Ia adlah peradaban dan undang-undang, atau ilmu pengetahuan dan hukum. Ia adalah material dan sumber alam atau usaha dan kekayaan. Ia adlah jihad dan dakwah, atau pasukan tentara dan fikrah. Seperti juga ia adalah sebuah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar… semuanya sama tak bisa dipilah-pilah” (Hasan Al Banna).
Selengkapnya...